Senin, Juni 08, 2009

Toleransi dan Kerukunan Hidup

Marilah kita meningkatkan taqwa kepada Allah dan marilah kita menciptakan ishlah (perdamaian) dari segala macam perpecahan ummat Islam dan masyarakat. Jangan sampai gontok-gontokkan dan berpecah belah. Lebih-lebih berpecah belah karena masalah khilafiyyah atau sebab beda golongan, warna pakaian dan partai politik, dan janganlah fanatik suku dan golongan.

Hidup kita ini sesungguhnya seperti dua tangan yang saling membantu. Kedua-duanya tidak iri dan dengki, namun bekerja sesuai dengan pekerjaannya masing-masing manakala sedang dibutuhkan. Dan janganlah kita suka membanding-bandingkan antara satu golongan dengan golongan yang lain, ataupun mengeluarkan perkataan-perkatan yang menjadikan perpecahan. Ingatlah firman Allah SWT dalam surat Al Hujarat, ayat 10.

"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."

Dan ingat pula sabda Rasulullah SAW :


"Orang Islam ibarat satu tubuh, apabila maranya sakit, maka seluruh tubuhnya pun sakit. Apabila kepalanya sakit, maka seluruh tubuhnya pun sakit." (HR. Abu Dawud)

Alkisah, suatu ketika Ali bin Thalib ditanya,”Wahai Ali, di zaman Rasulullah ummat Islam begitu rukun, dan berbuat baik, mengapa sekarang tidak?.”
Maklum, di zaman ‘Ali bin Thalib, benih-benih pertikaian politik antar sesama ummat Islam masih terasa. Lantas, Ali bin Thalib menjawab,” Di zaman Rasulullah, yang dipimpin adalah orang seperti kami, sebaliknya di zamanku, orang seperti kalian."
Jawaban ‘Ali bin Thalib tersebut menegaskan bahwa Rasulullah SAW berhasil mendidik para sahabatanya tunduk pada Al Qur’an dan Sunnah, sementara dalam perkembangannya, ummat Islam mulai hidup dalam sentimen suku, status dan bani/golongan keluarga. Dan manusia seringkali menempatkan sentimen-sentimen budaya, kelompok, dan perbedaan pikiran, dalam bingkai yang lebih besar dibandingkan agama itu sendiri, sehingga agama tidak diletakkan di atas segala-galanya, melainkan kelompoknya.

Dalam kenyataannya, ummat Islam juga hidup di antara ummat-ummat beragama yang lain. Perbedaan ini sama sekali bukan alasan untuk hidup terkotak-kotak dan bercerai berai. Sebab setiap ummat beragama adalah bagian dari satu bangsa yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. Yakni, masyarakat adil dan makmur.

Perosalannya adalah, perbedaan sering dipahami sebagai pembedaan, sehingga muncullah paradigma “aku” dan “kamu”. Segala sesuatu yang bukan dari “aku” adalah salah. Masing-masing kelompok berpijak pada paradigma “aku,” bukan “kita.”

Sebagai contoh, kita melihat seseorang yang akan tenggelam di sebuah kolam renang. Apakah kita terlebih dahulu menanyakan agama, suku, dan alamat rumah sebelum kita menolongnya. Untuk menolongnya, kita tidak perlu menanyakan suku dan agamanya. Tolong menolong adalah watak dasar kehidupan manusia. Binatang yang menghadapi persoalan sepele saja tolong menolong, apalagi manusia yang menghadapi berbagai macam persoalan hidup.

Untuk itulah kita perlu mengembangkan sikap saling mengormati dan mau bekerjasama. Dan seyogyanya kita tidak terjebak dalam “pembedaan”.

Adapun perbedaan, sudah pasti ada. Jangankan dalam kehidupan berbangsa dan beragama, di dalam rumah tangga saja sudah pasti ada perbedaan. Namun perbedaan menjadi rahmat manakala kita saling melengkapi dan menghormati. Oleh karena itu kita memerlukan kecerdasan dan sikap yang bijaksana agar masing-masing dapat menemukan hal-hal yang memperkuat kehidupan ummat manusia.

Kita semua disadarkan akan suatu tugas mengangkat harkat dan martabat manusia serta menyelamatkan manusia dari kehancuran. Oleh karena itu kita mengenal diakonia, bhakti-marga, sedekah, dan dharma. Semua ini adalah ajaran suci agama-agama yang berhubungan dengan manusia. Jika ada yang “keliru” di dalam beragama, bukan agamanya yang keliru, melainkan manusia yang memeluknya.

Menengok kenyataan zaman kita sekarang ini, persoalan-persoalan manusia bukan semakin surut, namun semakin berkembang; terutama dalam masalah demoralisasi. Maka ada beberapa hal yang perlu kita lakukan agar toleransi mampu mewujudkan kerukunan "
Pertama, kita tidak boleh mengabaikan kebajikan-kebajikan agama dan memperbesar perbedaan-perbedaan yang seringkali justru merusak sendi-sendi agama.

Kedua, kita perlu mengutamakan peningkatan komunikasi antar ummat beragama untuk sama-sama membendung pengaruh negatif dari kebudayaan sekuler, globalisasi, teknologi informasi, memberantas maksiat dalam segala bentuknya dan menghindarkan salah faham antar agama.
Ketiga, kita perlu menonjolkan peranan agama sebagai motivasi batin untuk mengmbangkan integritas sosial. Disamping itu perlu menampilkan agama sebagai motivator dalam pembangunan masyarakat dunia agar dunia ini menjadi aman, indah, sehat, adil dan makmur.
Keempat,“Saling Menghormati “ seharusnya menjadi kata kunci di dalam membina kerukukunan hidup. Bukan saja antar sesama ummat beragama, melainkan juga ummat lain. Sebab pada kenyataannya, kita menghadapi persoalan yang sama misalnya masalah kemiskinan, kebodohan dan kesehatan. Masalah-masalah ini terjadi tidak memandang suku, agama dan ras.
Marilah kita memperkuat persaudaraan Islam dan persaudaraan sesama manusia. Dengan persaudaraan kita akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang menghadang kita. Persaudaraan menumbuhkan perasaan empati dan peduli pada sesama makhlukNya. Sebaliknya perpecahan dan permusuhan hanya akan menghabiskan tenaga dan biaya. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada untuk mengasihi sesama manusia. Ingatlah, kita harus berpegang teguh pada agama Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar