Selasa, Juni 09, 2009

Kekuasaan Yang Bersumber dari Allah dan Rasul-Nya

Allah SWT memilih orang-orang tertentu yang diberi kekuasaan untuk mengatur masyarakat, bangsa maupun negara. Bahkan sesungguhnya kita semua memiliki kekuasaan atas sesuatu hal. Namun ketahuilah, bahwa kekuasaan-kekuasan ini bersifat semu (nisbi), karena sesungguhnya kekuasaan mutlak ada di tangan Allah SWT. Kekuasaan yang dimiliki manusia, merupakan titipan Allah sehingga harus dipertanggungjawabkan kepadaNya kelak di hari kiamat. Pada hari ini, manusia tidak dapat berbohong atas apa yang diperbuatnya.

Di dalam Al Qur'an, kekuasaan mutlak Allah dilambangkan dengan "Kursi Allah," sedangkan kekuasaan manusia dilambangkan dengan kursi Nabiyullah Sulayman 'alaihissalam. Kursi Allah bersifat mutlak dan kekal, sedangkan kursi Sulyaman dapat rusak dan dimakan rayap sebagaimana dinyatakan Allah dalam surat Shaad, ayat 34-35.

"Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat."
"Ia berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi."

Kursi dalam arti kekuasaan merupakan hal penting, kerena secara lansgung dapat mempengaruhi kehidupan dan nasib manusia. Penyelenggaraan kekuasaan atau pemerintahan yang benar akan mempengaruhi kehidupan dan nasib manusia. Pemerintahan yang benar menghadirkan suasana kondusif terhadap perkembangan potensi manusia menuju kemuliaan, ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan. Pemerintahan seperti ini dicanangkan dalam surat Shaad, ayat 26.

"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan."

Sebaliknya, pelanggaraan terhadap hukum-hukum dan peringatan Allah akan menimbulkan akibat yang sangat dahsyat dan memberatkan masyarakat. Yakni berupa kerusakan-kerusakan masyarakat di setiap lapisan yang hampir-hampir tidak dapat diperbaiki lagi. Kehidupan masyarakat menjadi seperti berputar-putar dalam lingkaran syetan dan badai besar yang memporak-porandakan alam. Masyarakat hidup dalam saling curiga, saling memfitnah, saling memakan, tidak ingat mati, tidak waspada. Jangankan dengan orang yang dianggap musuh, dengan saudara sendiri pun tega berbuat dzalim.

Oleh karena itu setiap tindakan yang menuruti hawa nafsu mengandung makna, bahwa tindakan itu adalah tindakan yang mementingkan diri sendiri dan merugikan masyarakat. Jika keadaan ini terus menerus terjadi, maka Allah tidak akan menjadikan masyarakat yang tenteram, penuh barakah, adil dan makmur. Sebaliknya masyarakat akan diliputi kegelisahan dan berbagai macam siksa disebabkan kita semua tidak ingat akan Hari Perhitungan atau Hari Pembalasan Allah.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita agar berhati-hati di dalam menjalankan kekuasaan. Jangan meniru Fir'aun yang merasa benar sendiri, sebagaimana dinyatakan Allah dalam surat Al Mukmin, ayat 29..

(Musa berkata): "Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!" Fir`aun berkata: "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar". (Q.S.40:29).

Pada kenyataannya, penguasa yang mengikuti hawa nafsunya cepat mengembangkan kekuasaan, namun kekuasaannya menjadi bencana dalam kehidupan. Kalaupun kekuasaan Fir'auniyyah ini mampu bertahan, maka hal ini tidak lain adalah karena istidraj, yang cepat atau lambat pasti akan dibinasakan Allah. Untuk apakah jika kekuasaan hanya menjadi bencana bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, "kepercayaan" memegang peranan sangat penting dalam pelbagai aspek kehidupan. Untuk berdagang, orang perlu saling percaya. Untuk berkeluarga, untuk berorganisasi dan untuk segala macam kegiatan orang perlu saling percaya. Manusia sejak awal sudah diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Misi kepercayaan ini adalah untuk memakmurkan bumi, memelihara perdamaian, menegakkan keadilan dan menyelenggarakan kehidupan yang sejahtera.

Apabila tidak melaksanakan kepercayaan, maka sama artinya dengan berkhianat. Akibat pengkhianatan ini, kepercayaan menjadi hilang, dan akhirnya akan merugikan masyarakat seluruhnya. Jika kepercayaan ini hilang, manusia akan saling bermusuhan, saling menipu dan saling menerkam, sehingga kehidupan yang lebih baik yang diidam-idamkan tidak akan terwujud. Sebaliknya Allah akan menimpakan bencana yang bertubi-tubi. Na'udzubillahi min dzalik.

Sekecil apapun amanat atau kekuasaan yang diberikan kepada kita hendaknya kita meaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai kita tidak mampu mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.

Pada hari kiamat kelak Allah akan memperlihatkan setiap amal perbuatan kita, dan kita tidak dapat mengelak dengan dalih apapun, sebagaimana dinyatakan Allah dalam surat Al Ankabut, ayat 36-37, yang artinya :

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan, saudara mereka Syu`aib, maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan".
"Maka mereka mendustakan Syu`aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka."

Oleh karenanya, marilah kita benar-benar menyadari setiap tindakan kita. Tunduklah kepada Allah dan rasul-Nya, agar kekuasaan yang kita miliki membawa maslahat bagi seluruh masyarakat. Dan ketahuilah bahwa setiap orang adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak di Hari Kiamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar