Senin, Juni 08, 2009

Kewajiban Mencari Rezeki yang Halal

Nabi Muhammad SAW mengalami kehidupan seperti manusia umumnya, yakni bekerja mencari nafkah. Bahkan sejak muda beliau telah bekerja guna menghidupi dirinya dengan menggembala domba dan berdagang. Apa yang dilakukan Nabi SAW sama sekali tidak mengurangi kemuliaannya, justru sebaliknya menjadi teladan bagi kita semua bahwa setiap orang berkewajiban mencari nafkah. Semua ini adalah untuk memanfaatkan tenaga dan pikiran yang telah dikaruniakan Allah.

Dengan bekerja, orang mendapatkan upah. Upah ini dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Disamping itu untuk menjaga harga diri manusia. Olah karenanya Allah menghargai setiap orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak peduli hasil yang diperoleh sedikit atau banyak, Allah SWT menetapkannya sebagai kebajikan asalkan usahanya dilakukan dengan cara halal.

Di dalam kisah kenabian Muhammad SAW disebutkan bahwasanya suatu hari Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Tampak dari serambi masjid, seorang pemuda yang gagah perkasa sedang berangkat kerja, padahal hari masih sangat pagi. Seorang sahabat berkata," Aduh sayangnya pemuda ini. Kalau saja kemudaannya digunakan untuk jihad di jalan Allah pasti lebih baik."

Rasulullah kemudian besabda :

"Janganlah berkata begitu. Sesungguhnya orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari meminta-minta dan mencukupkan diri dari orang lain, maka ia jihad fi sabilillah. Dan barangsiapa yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup kedua orangtuanya yang lemah atau sanak keturunannya yang lemah, agar dapat menkupi kebutuhan mereka; maka ia pun jihad fi sabilillah. Dan barangsiapa yang bekerja untuk membangga-banggakan diri dan menumpuk-numpuk kekayaan, maka ia berada di jalan syetan." (HR. Thabrani dari Ka'b)

Melalui sabda ini Rasulullah SAW memberikan penghargaan kepada setiap orang yang mau bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sesuai dengan syari'at Islam, tidak untuk membangga-banggakan diri dengan kemewahan atau menumpuk-numpuk kekayaan dengan menggunakan segala cara; maka ia adalah seorang mujahid fi sabilillah. Sebaliknya orang yang bekerja hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan, tanpa zakat, infak, sedekah dan dipergunakan untuk menuruti hawa nafsu atau egosentrisme sendiri, digolongkan dalam jalan syetan.

Ada tiga sebab mengapa orang tidak mau bekerja.
Pertama, tidak mau bekerja karena alasan ketaqwaan. Seseorang tidak mau bekerja karena menganggap dunia ini kotor sedangkan akhirat suci, sehingga hidupnya hanya dihabiskan untuk berdzikir dan beribadah mendekat kepada Allah. Akibat dari kebiasaan ini, menjadikan orang thamak dan hanya berharap-harap upah dari Allah tanpa mau berusaha. Agama Islam tidak mengajarkan cara hidup ini, sebaliknya mengajarkan agar siapa pun harus bekerja keras supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kedua, tidak bekerja karena gengsi. Karena gengsi seseorang enggan melakukan pekerjaan yang dianggap remeh, tidak mulia dan tidak memperoleh hasil yang banyak. Padahal pekerjaan yang tampaknya remeh ini halal. Apalagi dirinya merasa memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga terpandang. Akibat dari kepribadian ini akan mendorong orang menempuh cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh upah yang banyak. Bahkan terkadang dengan menyakiti orang lain seperti merampas dan mencuri.

Ketiga, karena malas. Jika sifat ini menjadi watak manusia, maka ia akan cenderung panjang angan-angan (thul al amal ), tidak mau bekerja namun menginginkan hasil yang banyak. Bahkan jika ada pekerjaan pun enggan untuk melakukan dan menyelesaikannya. Pekerjaan apapun tidak akan dapat dikerjakan dengan baik dan benar. Mustahil sifat malas membawa kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Allah SWT telah memberi keluasan waktu agar kita dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sesuai syari'at Allah, akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT telah menjadikan siang sebagai waktu mencari penghidupan, agar kiranya di waktu malam dapat beristirahat dan mendekat kepada Allah dengan shalat tahajud, shalat witir dan shalat malam lainnya, atau berkumpul dengan keluarga dan mempelajari firman-firmanNya.

Allah SWT menyatakan bahwa saling dijadikan sebagai tempat mencari penghidupan sebagaimana firman Allah dalam surat An Naba', ayat 11 yang artintya :

"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan",

Allah juga telah menjadikan bumi ini sebagai sumber penghidupan. Allah memberikan keleluasaan untuk mengolah bumi agar manusia dapat bersyukur. Namun terkadang manusia justru mengingkari Allah SWT, seakan-akan segala sesuatu yang ada di bumi ini muncul dengan sendirinya dan seakan-akan memperoleh segala sesuatu yang ada di bumi ini seperti barang temuan yang tak bertuan. Padahal segala isi langit dan bumi ini adalah milik Allah. Jika Allah menghendaki, maka langit dan bumi dihempaskan dan dihancurkan, sehingga manusia tidak dapat mengambil manfaat apapun darinya membangga-banggakan diri.

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur." (Q.S.Al A'raf:10).

Marilah kita memahami alangkah besarnya karunia Allah bagi kehidupan manusia. Namun semua karunia ini tidak bisa diperoleh tanpa usaha dan bekerja. Allah memerintahkan kepada manusia agar bekerja di dunia agar dapat memenuhi kebututuhan hidupnya dan memiliki sarana beribadah kepada Allah. Wujud terima kasih manusia kepada Allah adalah dengan senantiasa bekerja dan beribadah secara sungguh-sungguh dimanapun kita berada.

Bekerja hanya untuk tujuan kebanggan dan memperbanyak harta benda dapat menjadikan orang lupa mati, ingat Allah dan ingat akhirat. Jika cara ini yang ditempuh, maka rezeki yang diperolehnya itu justru menambah kekufuran dan melupakan akhirat. Sesungguhnya Allah akan menimpakan siksa dunia dan akhirat bagi orang-orang yang mengingkariNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar